SENGKETA URUT
SEWU
Disusun
Guna Memenuhi Tugas UAS
Mata
Kuliah: Manajemen Konflik dan Studi
Perdamaian
Dosen
Pengampu: Bapak Djurban
Oleh:
Nurhayati (1504026117)
FAKULTAS
USHULUDDIN DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM
NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2016
Sengketa Urut
Sewu
Tempat :
Sengketa
ini melibatkan atau
terjadi di 3 kecamatan dan 15 desa di Kabupaten Kebumen. Adapun tiga kecamatan
tersebut adalah Kecamatan Mirit, meliputi desa: Wiromartan, Desa Lembu Purwo,
Desa Tlogo Pragata, Desa Tlogo Depok, Desa Mirit, Desa Mirit Petikusan.
Kecamtan Ambal meliputi desa: Desa Ambal, Desa Kaibon, Desa Kaibon Petangkuran,
Desa Ambal Resmi, Desa Kenoyojayan, Desa Entak. Kecamatan Buluspesantren
meliputi: Desa Brecong, Desa Setrojenar, Desa Ayam Putih.
Kronologi :[1]
Sebelum kita
menganalisa konflik urut sewu, maka kita harus mengetahui kronologi terjadinya
konflik tersebut. Berikut ini adalah kronologi terjadinya konflik Urut Sewu:
1830-1871 (Penataan tanah“Galur Larak”.)
Pada masa pemerintahan Bupati Ambal
R. Poerbonegoro, dilakukan pembagian/penataan tanah dengan sistem “galur
larak”, yaitu dengan membagi tanah membujur dari utara ke selatan sampai dengan
pantai laut selatan.
1920 (Blengketan Desa.)
Penggabungan desa-desa di Urutsewu, beberapa
desa (2-4 desa) digabung menjadi satu. Hasilblengketan desa ini masih dipakai
sampai sekarang.
1922 (Kelangsiran
tanah I pascablengketan desa.)
Pemetaan dan pengadministrasian tanah pada
masing-masing desa hasil blengketan. Meliputi pencatatan tanah milik
perorangan, tanah bengkok dan bondho desa, serta penggabungan tanah bengkok
desa menjadi satu lokasi dengan cara tukar guling.
Pada periode ini batas sebelah selatan tanah
milik perorangan maupun milik desa sampai dengan pantai laut selatan (banyu
asin).
1932 (Klangsiran tanah II pascablengketan desa.)
Pemetaan dan
pengadministrasian tanah yang dilakukan oleh pejabat yang disebut Mantri
Klangsirpada masa penjajahan kolonial Belanda dengan partisipasi petani
Urutsewu. Tanah yang di-klangsir berarti dipetakanberdasarkan nilai ekonomi,
sehingga menghasilkan kelas-kelas tanah, yaitu D I, D II, D III, D IV dan D V.
Kelangsiran atau pemetaan kelas-kelas tanah terutama bertujuan untuk menentukan
besarnya pajak yang harus dibayar oleh masyarakat.
Untuk menandai tanah
yang sudah diverifikasi dalam prosesklangsiran itu dibuat tanda dengan pal atau
patok tanah. Khusus untuk patok yang menandai batas antara desa dibuat lebih
besar. Di luar batas ini di-klaim oleh Belanda, sehingga masyarakat menyebutnya sebagai “Tanah Kompeni”, yakni tanah yang
berada pada jarak +150 – 200 meter dari
garis pantai. Hingga kini, pal atau patok penanda itu masih ada. Masyarakat
menyebutnya sebagai pal budhegdan terdapat di sepanjang pesisir. Di sebelah
utara dari batas patok yang berjarak +150 –
200 meter dari garis pantai adalah tanah milik kaum tani di
masing-masing desa. Contoh pal-budheg: kode Q222 untuk Desa Setrojenar, Q216
untuk Desa Entak, dan Q215 untuk Desa Kaibon.
Klaim “Tanah Kompeni”
tersebut mendapatkan penolakan/perlawanan keras dari warga, dalam bentuk
perusakan gudang garam milik Belanda oleh kelompok-kelompok tertentu. Bentuk
perlawanan yang lain adalah bahwa masyarakat tetap membuat garam di lokasi
“Tanah Kompeni” tersebut serta membuat jaringan pemasaran sendiri yang
dipusatkan di Desa Tlogopragoto.
Fakta bahwa masyarakat
tetap menguasai dan memanfaatkan “Tanah Kompeni” adalah bahwa pada masa itu
banyak petani garam yang tinggal di daerah utara menyewa sebagian “tanah
kompeni” tersebut kepada pemilik tanah yang sebenarnya, untuk membuat garam.
1937 (Latihan Tentara Kolonial Belanda.)
Pesisir Urutsewu
dipakai untuk latihan militer oleh Tentara Belanda. Pada waktu ini belum ada
Tentara Nasional Indonesia (TNI), karena TNI berdiri pada 3 Juni 1947. TNI
lahir dalam kancah perjuangan bangsa Indonesia mempertahankan kemerdekaan dari
ancaman Belanda yang berambisi untuk menjajah Indonesia kembali melalui
kekerasan senjata. TNI merupakan perkembangan organisasi yang berawal dari
Badan Keamanan Rakyat (BKR). Selanjutnya pada tanggal 5 Oktober 1945 menjadi
Tentara Keamanan Rakyat (TKR), dan untuk memperbaiki susunan yang sesuai dengan
dasar militer internasional, dirubah menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI).
Untuk menyatukan dua kekuatan bersenjata yaitu TRI sebagai tentara regular dan
badan-badan perjuangan rakyat, maka pada tanggal 3 Juni 1947, Presiden
mengesyahkan dengan resmi berdirinya TNI.
1942-1945 (Latihan Tentara Jepang.)
Latihan tentara Jepang
dan Laskar PETA dilakukan di sebelah
selatan pal-budheg.
1945 Proklamasi
Kemerdekaan Republik Indonesia, tentara Jepang meninggalkan pesisir Urutsewu
1960 (Pasca Pengesahan UUPA 1960.)
Pendaftaran/sertifikasi
tanah rakyat secara massal di Departemen Agraria/Dirjen Agraria, Departemen
Dalam Negeri.
Bukti-bukti :
Sertifikat tanah warga dan perjanjian jual beli yang ditandatangani oleh
asisten wedono dan kepala desa, dengan batas sebelah selatan laut/pantai.
1965-1969 (Pasca
Peristiwa 1965.)
Masyarakat takut
mengakui jika memiliki sertifikat tanah (pemilik sertifikat) karena dituduh
sebagai anggota PKI. Masyarakat juga takut untuk mengurus sertifikat.
1975 (Masuknya perkebunan tebu “Madukismo”.)
Lahan selatan makam
Urutsewu (kelas D V) dianggap tidak bertuan, sehingga sewa lahan tidak
dibayarkan, tetapi setelah ada masyarakat yang menunjukkan akta jual beli,
kemudian perusahaan mau membayar sewa.
1982 (TNI Pinjam tempat ketika latihan.)
Selain latihan, TNI
juga melakukan Uji Coba Senjata Berat. TNI membuat surat “pinjam tempat ketika
latihan” kepada kepala desa setempat. Belakangan “pinjam tempat” tidak lagi
dilakukan, dan hanya memberikan surat pemberitahuan ketika latihan.
1998 – 2009 (TNI “pinjam” urutsewu ke Pemerintah Kabupaten
Kebumen.)
TNI juga pernah
membuat “kontrak” dengan pemerintah daerah tentang penggunaan tanah pesisir
urutsewu untuk latihan. Hal ini membuktikan bahwa tanah pesisir urutsewu
benar-benar milik warga.
Maret-April 1998 (Pemetaan tanah untuk area latihan dan ujicoba
senjata TNI AD mulai dari muara Kali Lukulo sampai muara Kali Wawar dengan lebar
kurang lebih 500 m dari garis pantai ke utara dan panjang kurang lebih 22.5 km.)
Pemetaan dilakukan
secara sepihak oleh anggota TNI yaitu Serma Hartono, NRP : 549021, kemudian
dimintakan tanda tangan kepada kepala desa. Istilah yang dipakai untuk menamai
area lapangan tembak dalam peta tersebut adalah “Tanah TNI-AD”, hal ini
menegaskan bahwa TNI telah mencoba melakukan klaim sepihak atas tanah rakyat.
Hasil pemetaan
dimintakan tandatangan dari kepala desa di kawasan Urutsewu, dengan alasanminta
ijin penggunaan tanahmilik untuk latihan sehingga kepala desa bersedia
menandatangani. Artinya, tandatangan ini tidak dapat dipakai sebagai bukti
mutasi kepemilikan.
Peta area latihan ini
tidak bisa dijadikan dasar/bukti bahwa TNI memiliki tanah tersebut karena pemetaan
dilakukan secara sepihak oleh TNI dan bukan instansi yang berwenang, yaitu
Badan Pertanahan Nasional (BPN)
Desember 2006 (Surat Kades Setrojenar Nomor 340/XII/2006
tertanggal 12 Desember 2006 perihal pernyataan resmi Kades Setrojenar tentang
tanah berasengaja.)
Surat ini menyatakan
bahwa walaupun sudah ada “kesepakatan tidak tertulis” antara warga Desa
Setrojenar dengan TNI-AD, yang menyetujui penggunaan tanah “berasengaja” untuk
latihan dan ujicoba senjata;Pemerintah Desa tetap berhak untuk mengelolakawasan
tersebut berdasarkan peraturan yang ada.
Latar belakang
terbitnya surat ini adalah adanya pungutan terhadap pelaku usaha di kawasan
pesisir, antara lain petani, pengelola wisata dan penggalian pasir laut,
sementara Pemerintah Desa juga merasa berhak untuk mengambil keuntungan ekonomi
dari aktifitas yang ada di tanah berasengaja.
Pengertian tanah
berasengaja (jw: sengaja di-beri-kan/tidak ditanami) adalah tanah yang sengaja
diberikandan digunakan sebagai ladang penggembalaan ternak kambing, sapi maupun
kerbau.
Nov 2007 (Surat Camat Buluspesantren Nomor 621.11/236 tertanggal
10 November 2007 perihal tanah TNI) dari hasil musyawarah permasalahan tanah TNI
pada 8 November 2007 di pendopo Kecamatan Buluspesantren yang dihadiri oleh
Muspika, Kodim 0709/Kebumen, Sidam IV Purworejo, Dislitbang Buluspesantren,
Kepala Desa Ayamputih, Setrojenar, dan Brecong, Ketua Badan Perwakilan Desa
(BPD) 3 desa, mantan Kades (2 desa), dan warga masyarakat 3 desa Pada poin 5 surat ini menyatakan bahwa TNI
tidak akan mengklaim tanah rakyat kecuali yang 500 m dari bibir pantai. Hal ini
bermasalah, karena dalam interval 500 meter dari bibir pantai tersebut terdapat
tanah rakyat yang merupakan “tanah pemajekan” sehingga tertera di Buku C Desa
dan memiliki Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT).
Berdasarkan kesaksian
Agus Suprapto, mantan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten
Kebumen yang pernah melihat dokumen peta tanah pada kantor Badan Pertanahan
Nasional (BPN) Jateng, tidak ada tanah Hankam di Urutsewu. Hal ini sesuai
dengan pernyatan BPN Kebumen pada audiensi dengan DPRD Kabupaten Kebumen, 13
Desember 2007, bahwa sampai sekarang tidak ada tanah TNI di Urutsewu dan TNI
belum pernah mengajukan permohonan ke BPN.
Menurut kesaksian
Sugeng, Paryono, dan Nur Hidayat (dari Setojenar), musyawarah 8 Desember 2007
pihak Dislitbang AD hanya mensosialisasikan bahwa “menurut Undang-Undang (UU)
yang ada, di sepanjang pantai di seluruh Indonesia adalah tanah Negara atau
tanah hankam,” tanpa menyebut UU yang mengaturnya. Ini adalah pembodohan dan
kebohongan publik. Yang jelas, tidak semua pemilik tanah dalam zona 500 m dari
garis pantai dilibatkan dalam musyawarah ini; dan sampai sekarang belum
sekalipun tercapai kata sepakat dari para pemilik tanah.
2007 (Pelebaran klaim “Tanah TNI” dari 500 m menjadi 1000 m dari
garis pantai.)
Pada saat proses
pembebasan tanah untuk bangunan Jalan Lintas Selatan Selatan, klaim “Tanah TNI”
berkembang, dari radius 500 m menjadi 1000m dari garis pantai, sehingga TNI
(Kodam IV Diponegoro) mempunyai alasan untuk meminta ganti rugi (surat Gubernur
Jateng kepada Pangdam IV Diponegoro, tgl 5 Oktober 2007, perihal Permohonan
ulang aset pengganti tanah TNI AD dalam pembangunan Jalan Jalur Lintas Selatan
Pulau Jawa).
Pelebaran/perluasan
klaim tersebut memicu perlawanan keras dari masyarakat dalam bentuk pencabutan
pathok “radius 1000 m”, dan pasca pencabutan muncul ancaman dari Panglima Kodam
IV Diponegoro yang intinya: akan dilakukan pematokan ulang dan barangsiapa yang
merusak patok TNI akan diambil tindakan tegas.
Klaim 1000 meter dari
garis pantai ternyata diakomodir dalam Draft Raperda Rencana Tata Ruang Wilayah
(RTRW) yang dipaparkan di DPRD kabupaten Kebumen pada 13 Desember 2007
menyebutkan rancangan penetapan kawasan Hankam/TNI 1000 meter kali 22,5 km.
Juga bunyi pasal terkait “di kawasan Hankam tidak boleh ada kegiatan lain
selaian kegiatan pertahanan keamanan”.
2008 (Kodam IV Diponegoro menyetujui penambangan pasir besi.)
Surat Kodam IV
Diponegoro, kepada PT Mitra Niagatama Cemerlang (MNC), nomor : B/1461/IX/2008,
tanggal 25 September 2008, tentang Persetujuan Pemanfaatan Tanah TNI AD di
Kecamatan Mirit untuk Penambangan Pasir Besi.
Berdasarkan surat ini
nampak jelas bahwa TNI nyata-nyata telah melakukan klaim sepihak atas tanah
pesisir Urutsewu, sekaligus telah melakukan kegiatan bisnis yang jelas-jelas
tidak boleh dilakukan oleh TNI.
2008 (Izin eksplorasi pasir besi diberikan oleh pemerintah
kepada PT MNC.)
Desa-desa yang
termasuk ke dalam area izin eksplorasi adalah Mirit Petikusan, Mirit, Tlogo
Depok, Tlogo Pragoto, Lembupurwo, dan Wiromartan. Dalam sidang Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) para pamong desa yang hadir menolak
kehadiran perusahaan tambang. Hanya Desa Winomartan, melalui kepala desanya,
yang mendukung rencana penambangan sepanjang menguntungkan masyarakat setempat.
Salah seorang komisari
PT MNC adalah pensiunan TNI-AD; sementara direkturnya (kemungkinan) adalah
mantan anggota Badan Intelijen Negara (BIN). Ijin ini diterbitkan meskipun
Perda Tata Ruang yang berlaku pada saat itu belum menetapkan kawasan urutsewu
sebagai kawasan pertambangan, artinya ijin ini harus dibatalkan demi hukum.
2011 (Ijin eksploitasi (Ijin Usaha Pertambangan Operasi
Produksi) diberikan kepada PT MNC.)
Pemerintah memberikan
Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi kepada PT MNC selama 10 tahun tanpa
sosialisasi. Dalam surat izin produksi, dinyatakan bahwa luasan lahan yang akan
ditambang adalah 591,07 ha, dengan 317,48 ha diantaranya adalah tanah milik TNI
AD.
Ijin ini diterbitkan
meskipun Perda Tata Ruang yang berlaku pada saat itu belum menetapkan kawasan
urutsewu sebagai kawasan pertambangan, artinya ijin ini harus dibatalkan demi
hukum.
16 April 2011 (Warga
menolak latihan uji coba senjata TNI AD)
Penolakan warga
ditunjukkan dengan aksi ziarah ke makam korban yang meninggal karena ledakan
bom mortir beberapa tahun yang silam dan membuat blokade dari pohon. TNI AD
membongkar blokade dari pohon yang dibuat oleh warga. Melihat blokadenya
dibongkar TNI-AD, warga kembali memblokade jalan dengan kayu, merobohkan
gerbong TNI AD, dan melempari gudang peluru bekas yang sudah lama tidak
terpakai dan dibangun diatas tanah milik warga. Peristiwa ini direspon dengan
penyerangan oleh TNI. Tentara mengejar, menangkap, menembak dan memukul warga.
Kejadian ini menyebabkan 6 petani dikriminaliasasi (pasal pengrusakan dan
penganiayaan), 13 orang luka-luka, 6 orang diantaranya luka akibat tembakan
peluru karet, dan di dalam tubuh seorang petani lainnya bersarang peluru karet
dan timah; 12 sepeda motor milik warga dirusak dan beberapa barang, seperti
handphone, kamera, dan data digital dirampas secara paksa oleh tentara.
Mei 2011 (TNI mencabut persetujuan penambangan pasir besi.)
Berdasarkan surat dari
Kodam IV Diponegoro, kepada Direktur PT. Niagatama Cemerlang, nomor :
B/6644/2011, tanggal : 19 April 2011, tentang : pemberitahuan, disampaikan
bahwa PT Mitra Niagatama Cemerlang tidak diijinkan (oleh TNI) untuk melanjutkan
survey lapangan, mengurus ijin pertambangan pasir besi di kecamatan Mirit.
Surat ini merupakan
mekanisme “cuci tangan” yang dilakukan oleh TNI setelah mendapatkan penolakan
keras dari warga. Tetapi terbitnya surat ini sekaligus menegaskan bahwa TNI
benar-benar pernah memberikan ijin kepada PT MNC untuk menambang pasir besi
alias terbukti melakukan kegiatan bisnis.
2012 (Aksi warga menolak pengesahan Perda RTRW yang menjadikan
Urutsewu sebagai kawasan pertambangan pasir besi dan latihan dan uji coba
senjata berat.)
Penolakan dari
masyarakat sangat massif, tetapi sama sekali tidak dihiraukan, baik oleh
pemerintah maupun DPRD
Perta RTRW menetapkan
kawasan Urutsewu sebagai kawasan pertambangan pasir besi dan latihan dan uji
coba senjata berat, sekaligus sebagai kawasan pertanian dan pariwisata. Tuntutan
masyarakat adalah “jadikan Urutsewu hanya sebagai kawasan pertanian dan
pariwisata”
Mei 2012 (Warga mengusir PT MNC dari Kecamatan Mirit.)
Dengan kekuatan massa
warga berhasil mengusir PT MNC di Kecamatan Mirit, namun hingga saat ini
ijin Pertambangan belum dicabut.
Desember 2013 (Pemagaran tanah rakyat pada jarak 500 m dari
garis pantai di pesisir Urutsewu.)
Pada Desember 2013,
pemagaran oleh TNI-AD sudah merambah 2 desa di Kecamatan Mirit, yaitu Desa Tlogodepok dan Mirit Petikusan.Pemagaran
ini telah mendapatkan penolakan keras dari masyarakat, tetapi tetap dilanjutkan
oleh TNI.
22
Agustus 2015
Masyarakat melakuan
aksi damai dan meminta kejelasan dari TNI, tiba-tiba diserang begitu saja oleh
mereka (TNI). Kejadian tersebut mengakibatkan 17 orang luka-luka dan 4 orang
luka berat, salah satuya adalah Widodo Sunu Nugroho kepala desa Petangkuran
merupakan salah satu korban luka berat atas tindakan anarkis dilakukan para
TNI-AD.
Analisa atau Mapping
dari Konflik tersebut:
Ø Pelaku utama : Mayarakat (petani Urut Sewu),
TNI-AD.
Ø Pelaku pendukung : Kepala desa, demonstran (masyarakat
sekitar dan mahasiswa)
Ø Masalah utama :
1.
Pengkaliman tanah warga oleh TNI-AD sedangkan pihak TNI-AD tidak
mampu menunjukkan sertifikat tersebut.
2.
Pendirian pertambangan pasir besi yang dilakukan oleh TNI-AD dan
adanya pungutan terhadap petani dan pelaku ekonomi di kawasan tersebut
3.
Pemagaran dilakukan diatas
tanah milik masyarakat tanpa ijin dan tanpa dasar yang kuat.
Ø Masalah pendukung :
Pada
tanggal 22 Agustus 2015, masyarakat melakuan aksi damai dan meminta kejelasan
dari TNI, tiba-tiba diserang begitu saja oleh mereka (TNI). Kejadian tersebut
mengakibatkan 17 orang luka-luka dan 4 orang luka berat, salah satuya adalah
Widodo Sunu Nugroho kepala desa Petangkuran merupakan salah satu korban luka
berat atas tindakan anarkis dilakukan para TNI-AD.
Ø Pola hubungan :
Hubungan baik terjadi
antara warga(petani) dengan kepala desa.
Hubungan buruk terjadi
antara warga dengan TNI-AD, kepala desa dengan TNI-AD hubungan ini sekaligus mendominasi terjadinya
konflik Urut Sewu.
Ø Teori Onion (Bawang) :
a. Posisi.
Pihak-pihak yang
berkonflik sama-sama memiliki posisi yang kuat, dimana mereka saling
mementingkan kepentingan mereka sendiri. TNI-AD memiliki status yang lebih
tinggi dibandingkan dengan masyarakat, sehingga masyarakat menjadi tertindas.
b. Tuntutan.
Dari pihak yang
berkonflik mereka semua mempunyai tuntutan masing-masing. TNI-AD mengklaim
tanah warga, sedangkan masyarakat meminta kepastian mengenai sengketa tersebut.
c. Interest (kepentingan).
Antara pihak-pihak yang
berkonflik mereka sama-sama meliki kepentingan yang berbeda. Kepentingan TNI-AD
adalah agar lahan tersebut digunakan untuk latihan kemiliteran berupa uji coba
senjata besar dan kegiatan-kegiatan lainnya. Masyarakat (petani) memiliki
kepentingan agar lahan tersebut tidak dipatoki atau disekat-sekat agar tanah
tersebut dapat digunakan untuk lahan pertanian dan pariwisata, agar masyarakat
memperoleh penghasilan. Masing-masing pihak menuntun guna untuk memperoleh
kenyamanan masing-masing.
Keterangan : warna hijau :
Position
Warna merah : Tuntutan
Warna pink : Interest
Berikut ini adalah gambar ketika masyarakat melakukan demo:
[1] www.kpa.or.id/news/blog/lagi-kekerasan-oleh-tni-di-urut-sewu,
diakses pada tanggal 25 Juni 2016 pukul 09.15 WIB