Selasa, 28 Juni 2016

SENGKETA URUT SEWU
Disusun Guna Memenuhi Tugas UAS
Mata Kuliah:   Manajemen Konflik dan Studi Perdamaian
Dosen Pengampu: Bapak Djurban


Oleh:
Nurhayati                                (1504026117)

FAKULTAS USHULUDDIN DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2016

Sengketa Urut Sewu
Tempat           :
Sengketa ini melibatkan atau terjadi di 3 kecamatan dan 15 desa di Kabupaten Kebumen. Adapun tiga kecamatan tersebut adalah Kecamatan Mirit, meliputi desa: Wiromartan, Desa Lembu Purwo, Desa Tlogo Pragata, Desa Tlogo Depok, Desa Mirit, Desa Mirit Petikusan. Kecamtan Ambal meliputi desa: Desa Ambal, Desa Kaibon, Desa Kaibon Petangkuran, Desa Ambal Resmi, Desa Kenoyojayan, Desa Entak. Kecamatan Buluspesantren meliputi: Desa Brecong, Desa Setrojenar, Desa Ayam Putih.
Kronologi       :[1]
Sebelum kita menganalisa konflik urut sewu, maka kita harus mengetahui kronologi terjadinya konflik tersebut. Berikut ini adalah kronologi terjadinya konflik Urut Sewu:
1830-1871 (Penataan tanah“Galur Larak”.)
            Pada masa pemerintahan Bupati Ambal R. Poerbonegoro, dilakukan pembagian/penataan tanah dengan sistem “galur larak”, yaitu dengan membagi tanah membujur dari utara ke selatan sampai dengan pantai laut selatan.
1920 (Blengketan Desa.)
Penggabungan desa-desa di Urutsewu, beberapa desa (2-4 desa) digabung menjadi satu. Hasilblengketan desa ini masih dipakai sampai sekarang.
1922 (Kelangsiran tanah I pascablengketan desa.)
Pemetaan dan pengadministrasian tanah pada masing-masing desa hasil blengketan. Meliputi pencatatan tanah milik perorangan, tanah bengkok dan bondho desa, serta penggabungan tanah bengkok desa menjadi satu lokasi dengan cara tukar guling.
Pada periode ini batas sebelah selatan tanah milik perorangan maupun milik desa sampai dengan pantai laut selatan (banyu asin).


1932 (Klangsiran tanah II pascablengketan desa.)
Pemetaan dan pengadministrasian tanah yang dilakukan oleh pejabat yang disebut Mantri Klangsirpada masa penjajahan kolonial Belanda dengan partisipasi petani Urutsewu. Tanah yang di-klangsir berarti dipetakanberdasarkan nilai ekonomi, sehingga menghasilkan kelas-kelas tanah, yaitu D I, D II, D III, D IV dan D V. Kelangsiran atau pemetaan kelas-kelas tanah terutama bertujuan untuk menentukan besarnya pajak yang harus dibayar oleh masyarakat.
Untuk menandai tanah yang sudah diverifikasi dalam prosesklangsiran itu dibuat tanda dengan pal atau patok tanah. Khusus untuk patok yang menandai batas antara desa dibuat lebih besar. Di luar batas ini di-klaim oleh Belanda, sehingga masyarakat menyebutnya  sebagai “Tanah Kompeni”, yakni tanah yang berada pada jarak +150 –  200 meter dari garis pantai. Hingga kini, pal atau patok penanda itu masih ada. Masyarakat menyebutnya sebagai pal budhegdan terdapat di sepanjang pesisir. Di sebelah utara dari batas patok yang berjarak +150 –  200 meter dari garis pantai adalah tanah milik kaum tani di masing-masing desa. Contoh pal-budheg: kode Q222 untuk Desa Setrojenar, Q216 untuk Desa Entak, dan Q215 untuk Desa Kaibon.
Klaim “Tanah Kompeni” tersebut mendapatkan penolakan/perlawanan keras dari warga, dalam bentuk perusakan gudang garam milik Belanda oleh kelompok-kelompok tertentu. Bentuk perlawanan yang lain adalah bahwa masyarakat tetap membuat garam di lokasi “Tanah Kompeni” tersebut serta membuat jaringan pemasaran sendiri yang dipusatkan di Desa Tlogopragoto.
Fakta bahwa masyarakat tetap menguasai dan memanfaatkan “Tanah Kompeni” adalah bahwa pada masa itu banyak petani garam yang tinggal di daerah utara menyewa sebagian “tanah kompeni” tersebut kepada pemilik tanah yang sebenarnya, untuk membuat garam.
1937 (Latihan Tentara Kolonial Belanda.)
Pesisir Urutsewu dipakai untuk latihan militer oleh Tentara Belanda. Pada waktu ini belum ada Tentara Nasional Indonesia (TNI), karena TNI berdiri pada 3 Juni 1947. TNI lahir dalam kancah perjuangan bangsa Indonesia mempertahankan kemerdekaan dari ancaman Belanda yang berambisi untuk menjajah Indonesia kembali melalui kekerasan senjata. TNI merupakan perkembangan organisasi yang berawal dari Badan Keamanan Rakyat (BKR). Selanjutnya pada tanggal 5 Oktober 1945 menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR), dan untuk memperbaiki susunan yang sesuai dengan dasar militer internasional, dirubah menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI). Untuk menyatukan dua kekuatan bersenjata yaitu TRI sebagai tentara regular dan badan-badan perjuangan rakyat, maka pada tanggal 3 Juni 1947, Presiden mengesyahkan dengan resmi berdirinya TNI.
1942-1945 (Latihan Tentara Jepang.)
Latihan tentara Jepang dan Laskar PETA  dilakukan di sebelah selatan pal-budheg.
1945    Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, tentara Jepang meninggalkan pesisir Urutsewu
1960 (Pasca Pengesahan UUPA 1960.)
Pendaftaran/sertifikasi tanah rakyat secara massal di Departemen Agraria/Dirjen Agraria, Departemen Dalam Negeri.
Bukti-bukti : Sertifikat tanah warga dan perjanjian jual beli yang ditandatangani oleh asisten wedono dan kepala desa, dengan batas sebelah selatan laut/pantai.
1965-1969 (Pasca Peristiwa 1965.)
Masyarakat takut mengakui jika memiliki sertifikat tanah (pemilik sertifikat) karena dituduh sebagai anggota PKI. Masyarakat juga takut untuk mengurus sertifikat.
1975 (Masuknya perkebunan tebu “Madukismo”.)
Lahan selatan makam Urutsewu (kelas D V) dianggap tidak bertuan, sehingga sewa lahan tidak dibayarkan, tetapi setelah ada masyarakat yang menunjukkan akta jual beli, kemudian perusahaan mau membayar sewa.
1982 (TNI Pinjam tempat ketika latihan.)
Selain latihan, TNI juga melakukan Uji Coba Senjata Berat. TNI membuat surat “pinjam tempat ketika latihan” kepada kepala desa setempat. Belakangan “pinjam tempat” tidak lagi dilakukan, dan hanya memberikan surat pemberitahuan ketika latihan.
1998 – 2009 (TNI “pinjam” urutsewu ke Pemerintah Kabupaten Kebumen.)
TNI juga pernah membuat “kontrak” dengan pemerintah daerah tentang penggunaan tanah pesisir urutsewu untuk latihan. Hal ini membuktikan bahwa tanah pesisir urutsewu benar-benar milik warga.
Maret-April 1998 (Pemetaan tanah untuk area latihan dan ujicoba senjata TNI AD mulai dari muara Kali Lukulo sampai muara Kali Wawar dengan lebar kurang lebih 500 m dari garis pantai ke utara dan panjang kurang lebih 22.5 km.)
Pemetaan dilakukan secara sepihak oleh anggota TNI yaitu Serma Hartono, NRP : 549021, kemudian dimintakan tanda tangan kepada kepala desa. Istilah yang dipakai untuk menamai area lapangan tembak dalam peta tersebut adalah “Tanah TNI-AD”, hal ini menegaskan bahwa TNI telah mencoba melakukan klaim sepihak atas tanah rakyat.
Hasil pemetaan dimintakan tandatangan dari kepala desa di kawasan Urutsewu, dengan alasanminta ijin penggunaan tanahmilik untuk latihan sehingga kepala desa bersedia menandatangani. Artinya, tandatangan ini tidak dapat dipakai sebagai bukti mutasi kepemilikan.
Peta area latihan ini tidak bisa dijadikan dasar/bukti bahwa TNI memiliki tanah tersebut karena pemetaan dilakukan secara sepihak oleh TNI dan bukan instansi yang berwenang, yaitu Badan Pertanahan Nasional (BPN)
Desember 2006 (Surat Kades Setrojenar Nomor 340/XII/2006 tertanggal 12 Desember 2006 perihal pernyataan resmi Kades Setrojenar tentang tanah berasengaja.)
Surat ini menyatakan bahwa walaupun sudah ada “kesepakatan tidak tertulis” antara warga Desa Setrojenar dengan TNI-AD, yang menyetujui penggunaan tanah “berasengaja” untuk latihan dan ujicoba senjata;Pemerintah Desa tetap berhak untuk mengelolakawasan tersebut berdasarkan peraturan yang ada.
Latar belakang terbitnya surat ini adalah adanya pungutan terhadap pelaku usaha di kawasan pesisir, antara lain petani, pengelola wisata dan penggalian pasir laut, sementara Pemerintah Desa juga merasa berhak untuk mengambil keuntungan ekonomi dari aktifitas yang ada di tanah berasengaja.
Pengertian tanah berasengaja (jw: sengaja di-beri-kan/tidak ditanami) adalah tanah yang sengaja diberikandan digunakan sebagai ladang penggembalaan ternak kambing, sapi maupun kerbau.
Nov 2007 (Surat Camat Buluspesantren Nomor 621.11/236 tertanggal 10 November 2007 perihal tanah TNI) dari hasil musyawarah permasalahan tanah TNI pada 8 November 2007 di pendopo Kecamatan Buluspesantren yang dihadiri oleh Muspika, Kodim 0709/Kebumen, Sidam IV Purworejo, Dislitbang Buluspesantren, Kepala Desa Ayamputih, Setrojenar, dan Brecong, Ketua Badan Perwakilan Desa (BPD) 3 desa, mantan Kades (2 desa), dan warga masyarakat 3 desa Pada poin 5 surat ini menyatakan bahwa TNI tidak akan mengklaim tanah rakyat kecuali yang 500 m dari bibir pantai. Hal ini bermasalah, karena dalam interval 500 meter dari bibir pantai tersebut terdapat tanah rakyat yang merupakan “tanah pemajekan” sehingga tertera di Buku C Desa dan memiliki Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT).
Berdasarkan kesaksian Agus Suprapto, mantan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Kebumen yang pernah melihat dokumen peta tanah pada kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Jateng, tidak ada tanah Hankam di Urutsewu. Hal ini sesuai dengan pernyatan BPN Kebumen pada audiensi dengan DPRD Kabupaten Kebumen, 13 Desember 2007, bahwa sampai sekarang tidak ada tanah TNI di Urutsewu dan TNI belum pernah mengajukan permohonan ke BPN.
Menurut kesaksian Sugeng, Paryono, dan Nur Hidayat (dari Setojenar), musyawarah 8 Desember 2007 pihak Dislitbang AD hanya mensosialisasikan bahwa “menurut Undang-Undang (UU) yang ada, di sepanjang pantai di seluruh Indonesia adalah tanah Negara atau tanah hankam,” tanpa menyebut UU yang mengaturnya. Ini adalah pembodohan dan kebohongan publik. Yang jelas, tidak semua pemilik tanah dalam zona 500 m dari garis pantai dilibatkan dalam musyawarah ini; dan sampai sekarang belum sekalipun tercapai kata sepakat dari para pemilik tanah.
2007 (Pelebaran klaim “Tanah TNI” dari 500 m menjadi 1000 m dari garis pantai.)
Pada saat proses pembebasan tanah untuk bangunan Jalan Lintas Selatan Selatan, klaim “Tanah TNI” berkembang, dari radius 500 m menjadi 1000m dari garis pantai, sehingga TNI (Kodam IV Diponegoro) mempunyai alasan untuk meminta ganti rugi (surat Gubernur Jateng kepada Pangdam IV Diponegoro, tgl 5 Oktober 2007, perihal Permohonan ulang aset pengganti tanah TNI AD dalam pembangunan Jalan Jalur Lintas Selatan Pulau Jawa).
Pelebaran/perluasan klaim tersebut memicu perlawanan keras dari masyarakat dalam bentuk pencabutan pathok “radius 1000 m”, dan pasca pencabutan muncul ancaman dari Panglima Kodam IV Diponegoro yang intinya: akan dilakukan pematokan ulang dan barangsiapa yang merusak patok TNI akan diambil tindakan tegas.
Klaim 1000 meter dari garis pantai ternyata diakomodir dalam Draft Raperda Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang dipaparkan di DPRD kabupaten Kebumen pada 13 Desember 2007 menyebutkan rancangan penetapan kawasan Hankam/TNI 1000 meter kali 22,5 km. Juga bunyi pasal terkait “di kawasan Hankam tidak boleh ada kegiatan lain selaian kegiatan pertahanan keamanan”.
2008 (Kodam IV Diponegoro menyetujui penambangan pasir besi.)
Surat Kodam IV Diponegoro, kepada PT Mitra Niagatama Cemerlang (MNC), nomor : B/1461/IX/2008, tanggal 25 September 2008, tentang Persetujuan Pemanfaatan Tanah TNI AD di Kecamatan Mirit untuk Penambangan Pasir Besi.
Berdasarkan surat ini nampak jelas bahwa TNI nyata-nyata telah melakukan klaim sepihak atas tanah pesisir Urutsewu, sekaligus telah melakukan kegiatan bisnis yang jelas-jelas tidak boleh dilakukan oleh TNI.
2008 (Izin eksplorasi pasir besi diberikan oleh pemerintah kepada PT MNC.)
Desa-desa yang termasuk ke dalam area izin eksplorasi adalah Mirit Petikusan, Mirit, Tlogo Depok, Tlogo Pragoto, Lembupurwo, dan Wiromartan. Dalam sidang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) para pamong desa yang hadir menolak kehadiran perusahaan tambang. Hanya Desa Winomartan, melalui kepala desanya, yang mendukung rencana penambangan sepanjang menguntungkan masyarakat setempat.
Salah seorang komisari PT MNC adalah pensiunan TNI-AD; sementara direkturnya (kemungkinan) adalah mantan anggota Badan Intelijen Negara (BIN). Ijin ini diterbitkan meskipun Perda Tata Ruang yang berlaku pada saat itu belum menetapkan kawasan urutsewu sebagai kawasan pertambangan, artinya ijin ini harus dibatalkan demi hukum.
2011 (Ijin eksploitasi (Ijin Usaha Pertambangan Operasi Produksi) diberikan kepada PT MNC.)
Pemerintah memberikan Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi kepada PT MNC selama 10 tahun tanpa sosialisasi. Dalam surat izin produksi, dinyatakan bahwa luasan lahan yang akan ditambang adalah 591,07 ha, dengan 317,48 ha diantaranya adalah tanah milik TNI AD.
Ijin ini diterbitkan meskipun Perda Tata Ruang yang berlaku pada saat itu belum menetapkan kawasan urutsewu sebagai kawasan pertambangan, artinya ijin ini harus dibatalkan demi hukum.
16 April 2011 (Warga menolak latihan uji coba senjata TNI AD)
Penolakan warga ditunjukkan dengan aksi ziarah ke makam korban yang meninggal karena ledakan bom mortir beberapa tahun yang silam dan membuat blokade dari pohon. TNI AD membongkar blokade dari pohon yang dibuat oleh warga. Melihat blokadenya dibongkar TNI-AD, warga kembali memblokade jalan dengan kayu, merobohkan gerbong TNI AD, dan melempari gudang peluru bekas yang sudah lama tidak terpakai dan dibangun diatas tanah milik warga. Peristiwa ini direspon dengan penyerangan oleh TNI. Tentara mengejar, menangkap, menembak dan memukul warga. Kejadian ini menyebabkan 6 petani dikriminaliasasi (pasal pengrusakan dan penganiayaan), 13 orang luka-luka, 6 orang diantaranya luka akibat tembakan peluru karet, dan di dalam tubuh seorang petani lainnya bersarang peluru karet dan timah; 12 sepeda motor milik warga dirusak dan beberapa barang, seperti handphone, kamera, dan data digital dirampas secara paksa oleh tentara.
Mei 2011 (TNI mencabut persetujuan penambangan pasir besi.)
Berdasarkan surat dari Kodam IV Diponegoro, kepada Direktur PT. Niagatama Cemerlang, nomor : B/6644/2011, tanggal : 19 April 2011, tentang : pemberitahuan, disampaikan bahwa PT Mitra Niagatama Cemerlang tidak diijinkan (oleh TNI) untuk melanjutkan survey lapangan, mengurus ijin pertambangan pasir besi di kecamatan Mirit.
Surat ini merupakan mekanisme “cuci tangan” yang dilakukan oleh TNI setelah mendapatkan penolakan keras dari warga. Tetapi terbitnya surat ini sekaligus menegaskan bahwa TNI benar-benar pernah memberikan ijin kepada PT MNC untuk menambang pasir besi alias terbukti melakukan kegiatan bisnis.
2012 (Aksi warga menolak pengesahan Perda RTRW yang menjadikan Urutsewu sebagai kawasan pertambangan pasir besi dan latihan dan uji coba senjata berat.)
Penolakan dari masyarakat sangat massif, tetapi sama sekali tidak dihiraukan, baik oleh pemerintah maupun DPRD
Perta RTRW menetapkan kawasan Urutsewu sebagai kawasan pertambangan pasir besi dan latihan dan uji coba senjata berat, sekaligus sebagai kawasan pertanian dan pariwisata. Tuntutan masyarakat adalah “jadikan Urutsewu hanya sebagai kawasan pertanian dan pariwisata”
Mei 2012 (Warga mengusir PT MNC dari Kecamatan Mirit.)
Dengan kekuatan massa warga berhasil mengusir PT MNC di Kecamatan Mirit, namun hingga saat ini ijin  Pertambangan belum dicabut.
Desember 2013 (Pemagaran tanah rakyat pada jarak 500 m dari garis pantai di pesisir Urutsewu.)
Pada Desember 2013, pemagaran oleh TNI-AD sudah merambah 2 desa di Kecamatan Mirit, yaitu  Desa Tlogodepok dan Mirit Petikusan.Pemagaran ini telah mendapatkan penolakan keras dari masyarakat, tetapi tetap dilanjutkan oleh TNI.
22 Agustus 2015
Masyarakat melakuan aksi damai dan meminta kejelasan dari TNI, tiba-tiba diserang begitu saja oleh mereka (TNI). Kejadian tersebut mengakibatkan 17 orang luka-luka dan 4 orang luka berat, salah satuya adalah Widodo Sunu Nugroho kepala desa Petangkuran merupakan salah satu korban luka berat atas tindakan anarkis dilakukan para TNI-AD.






Analisa atau Mapping dari Konflik tersebut:
Ø  Pelaku utama               : Mayarakat (petani Urut Sewu), TNI-AD.
Ø  Pelaku pendukung      : Kepala desa, demonstran (masyarakat sekitar dan mahasiswa)
Ø  Masalah utama            :
1.      Pengkaliman tanah warga oleh TNI-AD sedangkan pihak TNI-AD tidak mampu menunjukkan sertifikat tersebut.
2.      Pendirian pertambangan pasir besi yang dilakukan oleh TNI-AD dan adanya pungutan terhadap petani dan pelaku ekonomi di kawasan tersebut
3.      Pemagaran dilakukan diatas tanah milik masyarakat tanpa ijin dan tanpa dasar yang kuat.
Ø  Masalah pendukung    :
Pada tanggal 22 Agustus 2015, masyarakat melakuan aksi damai dan meminta kejelasan dari TNI, tiba-tiba diserang begitu saja oleh mereka (TNI). Kejadian tersebut mengakibatkan 17 orang luka-luka dan 4 orang luka berat, salah satuya adalah Widodo Sunu Nugroho kepala desa Petangkuran merupakan salah satu korban luka berat atas tindakan anarkis dilakukan para TNI-AD.

Ø  Pola hubungan            :
Hubungan baik terjadi antara warga(petani) dengan kepala desa.
Hubungan buruk terjadi antara warga dengan TNI-AD, kepala desa dengan TNI-AD  hubungan ini sekaligus mendominasi terjadinya konflik Urut Sewu.



Ø  Teori Onion (Bawang) :
a.  Posisi.    
   Pihak-pihak yang berkonflik sama-sama memiliki posisi yang kuat, dimana mereka saling mementingkan kepentingan mereka sendiri. TNI-AD memiliki status yang lebih tinggi dibandingkan dengan masyarakat, sehingga masyarakat menjadi tertindas.
b. Tuntutan.
   Dari pihak yang berkonflik mereka semua mempunyai tuntutan masing-masing. TNI-AD mengklaim tanah warga, sedangkan masyarakat meminta kepastian mengenai sengketa tersebut.
c. Interest (kepentingan).
   Antara pihak-pihak yang berkonflik mereka sama-sama meliki kepentingan yang berbeda. Kepentingan TNI-AD adalah agar lahan tersebut digunakan untuk latihan kemiliteran berupa uji coba senjata besar dan kegiatan-kegiatan lainnya. Masyarakat (petani) memiliki kepentingan agar lahan tersebut tidak dipatoki atau disekat-sekat agar tanah tersebut dapat digunakan untuk lahan pertanian dan pariwisata, agar masyarakat memperoleh penghasilan. Masing-masing pihak menuntun guna untuk memperoleh kenyamanan masing-masing.
Gambar teori onion
                                                  Keterangan : warna hijau             : Position
                                                                        Warna merah          : Tuntutan
                                                                        Warna pink             : Interest





Berikut ini adalah gambar ketika masyarakat melakukan demo:

 
                                           



   

                 













[1] www.kpa.or.id/news/blog/lagi-kekerasan-oleh-tni-di-urut-sewu, diakses pada tanggal 25 Juni 2016 pukul 09.15 WIB

Sabtu, 11 Juni 2016

NASI PENGGEL, SARAPAN SEDERHANA KHAS KEBUMEN


Nasi Penggel, kuliner khas Kebumen.

Jika Pekalongan memiliki Sego Megono, Surakarta mempunyai Nasi Liwet, Cirebon memiliki Nasi Lengko, maka Kebumenmempunyai Nasi Penggel.  Sebutlah penggel seperti kita menyebut ‘e’ pada pensil. Jika berada di Kebumen pagi hari, adalah sebuah keniscayaan untuk mengecap rasa khas dari kuliner Kebumen yang memang hanya tersedia di kala pagi ini. 

Masih pagi sekali, mentari masih redup menampakkan jati diri sehabis lelap dipeluk malam hari. Namun, Dukuh Gunungsari, Desa Pejagoan, Kec. Pejagoan telah riuh dengan kerumunan orang mengantri. Di pinggir jalan raya, di dua sisinya, puluhan orang rela bangun pagi untuk mendapatkan sesuap Nasi Penggel yang dijual di beberapa lapak. Saya pun turut mengantri sembari segar menghirup udara pagi di daerah yang terletak 2 km sebelah barat alun-alun kota Kebumen.
Dari beberapa penjual, lapak milik Melan (41) lah yang paling ramai. Nasi Penggel Pak Melan ini dikenal sebagai Nasi Penggelpaling legendaris di Kebumen. Melan tampak begitu cekatan melayani permintaan para pengunjung yang seolah tidak ada habisnya. Buka dari pukul 05.30, paling lama pukul 08.00 lapaknya sudah habis. Lapak lain juga tidak jauh berbeda.  Melan harus marathon mengambilkan sayur dan lauk untuk pasangan Nasi Penggel yang disodorkan oleh para pelanggan.

“Kalau nasinya ambil sendiri yah mas. Monggo, terserah ambil berapa saja.” ungkap Melan berkali-kali seperti dia ingin membuang rasa canggung dari setiap pembeli kepadanya. Istilahnya seperti, “Anggap saja saudara sendiri. Silakan makan sepuasnya dan senikmatnya”

Mengambil Nasi Penggel berarti mengambil nasi yang dibentuk bulat-bulat seukuran bola pingpong. Nasi Penggel itu bermakna nasi yang dibulati. Saya mengambil 10 bulatan nasi yang diwadahi dengan daun pisang yang dibentuk ‘pincuk’. Biasanya pembeli akan mengambil 8-15 bulatan nasi dan menurut  saya sejumlah itu sudah sangat mengenyangkan. Bulatan Nasi Penggel ini diletakkan dalam bakul yang ditata berlapis-lapis. Setiap lapisan Nasi Penggel akan dipisahkan dengan lembaran daun pisang.

Nasi yang diambil pembeli lalu disodorkan kepada Melan untuk dituangkan sayur dan lauk. Sayur ini merupakan lodeh santan berbumbu gurih sederhana yang dicampur ‘gori’ atan nangka muda, daun singkong, tempe, tahu dan melinjo.

Adapun lauk Nasi Penggel adalah kulit dan jeroan sapi seperti babat, iso, kikil, ‘tetelan’, jantung, ginjal, paru, dan semacamnya.  Saya melengkapi kenikmatan Nasi Penggel ini dengan memadankan dengan tempe mendoan dan teh hangat. Dari sayur dan lauk Nasi Penggel ini, saya merasakan kentalnya kesederhanan khas ‘wong cilik’ yang notabene menjadi mayoritas penduduk Kebumen.

“Kalau daging sapi nanti jadinya harga mahal. Nanti sedikit yang beli. Ya, gini mas sederhana saja. Yang penting bisa dinikmati semua.” ungkap Melan yang dari penampilannya juga menyiratkan orang yang sungguh sederhana.

Menyantap Nasi Penggel paling khas adalah dengan sendok daun pisang. Namun begitu, kebanyakan pembeli menggunakan sendok biasa yang dinilai lebih praktis tanpa mengurangi kenikmatannya. 
Tadinya Nasi penggel ini masih berbentuk berbulat-bulat, tetapi jika sudah tercampur kuah sayuran dan lauk maka akan perlahan hancur menjadi seperti nasi biasa. Kata Melan, meski akan hancur juga saat dimakan, tapi dengan nasi dibulat-bulat, rasa nasi akan terasa lebih gurih. Ketika membulati nasi, dia biasanya mengolesi tangannya dengan ‘lengo gurih’ alias minyak kelapa.

Melan mewarisi resep asli dari simbahnya. Sudah tiga generasi berjualan Nasi Penggel.



Nasi yang di-penggel, yang dibulati ini ditaruh dalam bakul.

Melan hanya buka lima hari dalam seminggu. Setiap Jumat dan Senin dia akan libur. Namun, tetap saja ada tetangga dan kerabat yang menggantikan lapaknya sehingga Nasi Penggel akan tersedia setiap hari. Daerah asalnya, yakni Dukuh Gunungsari, Desa Karangpoh, Kec. Pejagoan, dikenal sebagai asal muasal penjual Nasi Penggel. Selain di Tembana, masyarakat Gunungsari juga menjual Nasi Penggel di beberapa lokasi di seantero Kebumen, seperti di Pasar Mertokondo dan Alun-alun Kebumen.

Melan adalah generasi ketiga penjual Nasi Penggel. Dia mewarisi langsung resep asli Nasi Penggel dari kakeknya, Mbah Darnuji, yang lalu diturunkan kepada ibunya, Biyung Marwiyah. Uniknya, dalam keluarga Mbah Darnuji, dari putra-putrinya hanya Marwiyah yang bisa memasak enak Nasi Penggel. Dari keturunan Maryati, juga hanya Melan lah yang cakap membuat Nasi Penggel. Meski begitu, resep memasak ini terbuka untuk diajarkan kepada siapapun yang ingin berjualan Nasi Penggel.

“Dulu, simbah jualan Nasi Penggel dengan pikulan keliling Pasar Tumenggungan, Kebumen. Karena sepuh lalu jualan di Tembana saja yang dekat.” ungkap Melan mengingat kisah simbahnya berjualan Nasi Penggel mulai tahun 1940-an.

Setiap hari, Melan paling tidak menghabiskan 15 kg atau jika ramai hingga 20 kg beras. Dia pun bisa menjual seratusan pincuk Nasi Penggel. Per pincuk Nasi Penggel lengkap sayur dan lauk dengan tempe mendoan dan teh hangat dijual seharga Rp 13 ribu rupiah. Dari jualan yang sederhana ini, dia bisa mengantongi pendapatan yang lumayan. Katanya, cukup untuk mengepulkan dapur dan menyekolahkan tiga anaknya. Saya lantas tertarik menanyakan sebab musabab dia hanya buka lima hari saja dan saat pagi saja.

“Rejeki itu yang cukup saja, mas. Aja terlalu ngoyo. Yang berlebihan itu tidak baik. Saya bisa punya waktu cukup untuk istirahat, cukup dengan keluarga. “ ungkapnya lembut dalam logat ngapak sambil tak berhenti tersenyum.

Entah kenapa selain Nasi Penggel yang dijualnya, saya tertarik dengan kepribadian Melan. Pria yang selalu mengenakan kopyah ini terasa meneduhkan pagi itu. Dia begitu sederhana nan bersahaja. Tampaknya kesederhanaan dirinya ini selaras dengan kesederhanaan Nasi Penggel.

Itulah kenapa, jika pulang ke Kebumen, saya akan teringat kesederhanan Melan dan teringat kesederhanaan kuliner Nasi Penggel. Saya pun akan rela bangun pagi untuk sekedar sarapan Nasi Penggel Pak Melan meski dari rumah saya jaraknya 13 km.  


Lokasi
- Nasi Penggel dijumpai paling nikmat pada sentranya di Dukuh Gunungsari, Desa Pejagoan, Kec. Pejagoan, Kebumen.  Dari Alun-alun Kebumen, tujulah menuju Jembatan Luk ulo Tembana (ke utara lalu belok kiri dan tetap lurus dari perempatan Pasar Mertokondo). Tak jauh dari jembatan, terdapat pertigaan dan beloklah ke kiri. Di situ merupakan kawasan Nasi Penggel yang terdapat beberapa pedagang yang buka dari jam 05.30 - 08.30 WIB.
- Sentra Nasi Penggel bisa dijumpai dengan titik koordinat lokasi pada -7.667833, 109.641112